Chrome Pointer
S E L A M A T _ D A T A N G

Minggu, 11 Januari 2015

KAJIAN MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN SUKU TENGGER DESA NGADAS BROMO ( Field Note) Ika Nofita Nurhayati 3401413089



KAJIAN MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN
SUKU TENGGER DESA NGADAS BROMO
( Field Note)
Ika Nofita Nurhayati
3401413089

Hari ke-1 (31 Maret 2014)
       Setelah melalui perjalanan yang cukup melelahkan yaitu sekitar 12 jam akhirnya rombongan kami tiba di Teminal Sukapura yaitu terminal terakhir tempat pemberhentian bis untuk ke Bromo. Sangat dingin, dan kami masih harus melanjutkan perjalanan ke Pananjakan dengan menggunakan mobil jeep karena bis tidak boleh memasuki jalan pananjakan. Setiap jeep diisi oleh 6 penumpang. Jalan yang naik turun dan berkelak-kelok cukup membuat perut mual dan kepala pusing. Butuh waktuh sekitar 1 jam untuk sampai di puncak pananjakan. Meskipun telah mengenakan jaket, namun rasa dingin tetap saja terasa hingga saya memilih untuk menyewa jaket tebal seharga 10 ribu. Karena jeep tidak dapat naik sampai puncak atau sampai tempat melihat sunrise (matahari terbit), kami harus berjalan menaiki tangga. Tapi sunngguh pemandangan yang sangat sayang untuk dilewatkan karena jutaan bintang bertaburan dan rasanya sangat dekat jaraknya dengan kita. Ternyata bukan hanya wisatawan dalam negri saja yang ingin menikmati sunrise tetapi banyak wisatawan luar negri yang juga datang kesini. Setelah kurang lebih 2 jam menunggu akhirnya langit mulai cerah dan matahari akan segera terbit. Benar-benar moment yang tidak boleh terlewatkan, segera semua wistawan ingin mengabadikan moment tersebut. Setelah matahari mulai naik, sekitar 06.30 rombongan kami menuju ke lautan pasir. Kembali perjalanan kami menaiki jeep yang tadi pagi kami tumpangi. Perjalanan yang cukup mengerikan karena melalui tebing-tebing dan turunan yang amat curam. Namun hal tersebut terbayarkan dengan indahnya lautan pasir Bromo. Ketika jeep telah terparkir kami berjalan menuju kawah bromo. Parkiran jeep memang cukup jauh dari tempat mendaki.
       Di tengah lautan pasi terdapat salah satu Pura yang dalam masyarakat Suku Tengger disebut dengan Pura Agung. Untuk sampai dikawah Bromo kami harus berjalan melewati hamparan pasir dan 100 lebih anak tangga. Sangat jauh rasanya. Setelah saya tahu ternyata ketika kita berada di lautan pasir kita tidak boleh mengeluh seperti berkata “ jauh sekali, dingin sekali, bau kotoran kuda, bau belerang” dan lain –lain karena hal tersebut justru akan tambah terasa kuat. Sebagian penduduk Suku Tengger khususnya laki-laki mempunyai mata pencaharian menyewakan kuda untuk perjalanan dari parkiran sampai ke depan tangga. Harga yang ditawarkan cukup variatif, mulai dari 20 ribu hingga 75 ribu. Menyewa kuda boleh untuk pulang pergi, berangkatnya saja, atau pulangnya saja. Selain itu, sebagian ibu-ibu juga menawarkan bunga Adelwais untuk oleh-oleh. Sekitar pukul 09.00 kami turun ke Desa Ngadas (tempat observasi) untuk makan pagi. Dalam perjalanan kami melihat warga yang sedang bertani tanaman kol, wortel, sampai stroberi. Dari supir Jeep kami mendapat informasi bahwa kebun stroberi akan dijadikan argo wisata. Memang mayoritas penduduk suku Tengger bekerja di ladang.
       Kami makan pagi di samping Balai Desa Ngadas. Setelah makan pagi, kami ke homestay untuk mengetahui letak homestay dan dilanjutkan istirahat. Sekitar pukul 11.30 kami kembali ke balai desa untuk mengikuti sarasehan dengan kepala desa dan tokoh adat Desa Ngadas. Pertama dosen kami, Dr. Thriwaty Arsal, M.Si. selaku perwakilan dari jurusan memohon ijin kepada Kepala Desa Ngadas untuk melakukan penelitian di Desa Ngadas. setelah itu Kepala Desa Ngadas, Bapak Sumarsono memberikan sambutan dan gambaran krcil penduduk Desa Ngadas. mulai dari jumlah penduduk, mata pencaharian, pendidikan, dan karakter penduduk Desa Ngadas. Desa yang mayoritas penduduknya bergama Hindu tersebut memiliki penduduk berjumlah 682 jiwa yang terdiri dari 335 laki-laki dan 347 perempuan. Desa Ngadas berada di atas 1700 m di atas permukaan laut. Dari Pak Kades kami juga mendapatkan informasi bahwa terdapat paguyuban Jeep, paguyuban ojek, dan paguyuban souvenir yang dikoordinasikan oleh kepala desa dari 6 desa. Bromo sendiri terletak di empat kabupaten yaitu Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Pasururan, dan Kabupaten Malang. Karena Pak Kades ada acara maka sarasehan dilanjutkan oleh tokoh adat yang dalam masyarakat Ngadas disebut dukun yang bernama Dukun Sasmito.
       Dukun Sasmito menjelaskan bahwa berita yang beredar selama ini tentang massyarakat Suku Tengger merupakan pelarian dari Majapahit tidak mutlak kebenarannya. Masyarakat Tengger sudah ada sebelum adanya pelarian Majapahit dan para pelari tersebut berbaur dengan masyarakat Suku Tengger. Masyarakat Suku Tengger mempunyai kekeluargaan dan gotong royong yang sangat kuat. Pak Dukun juga menjelaskan bahwa hindu di Tengger berbeda dengan hindu di Bali yaitu pada kasta. Selain itu Pak Dukun menjelaskan untuk menjadi dukun harus melewati proses pada hari raya Kasada. Setelah selesei kami makan siang dan ke homestay untuk sholat. Kegiatan dilanjutkan observasi ke rumah penduduk Desa Ngadas sekitar pukul 15.00. Kelompok saya berjumlah 11 orang kemudian dibagi lagi menjadi 3 kelompok. Kelompok saya terdiri dari Ika Yuni, dan Anisa Maratus. Kami sempat bingung untuk mencari narasumber karena ketika siang hari penduduk desa berada di ladang. Setelah berjalan ke arah bawah kami bertemu dengan seorang ibu yang pulang dari ladang. Ketika kami minta ijin untuk bermain di tempatnya ternyata ibu tersebut tidak keberatan. Sungguh masyarakat Tengger sangat ramah dan welcome terhadap para pendatang. Ibu yang kami datangi bernama Ibu Amel. Ibu Amel mempunyai dua anak perempuan, yang pertama telah lulus SMK Pariwisata dan bekerja di Hotel Yosi milik warga asing di Daerah Ngadas. Anak yang kedua masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Suami Ibu Amel bekerja di ladang yang disewanya dari orang lain. Sedangkan Ibu Amel bekerja sebagai penjual makanan di lautan pasir Bromo. Keluarga Ibu Amel beragama Islam. Setelah saya tahu ternyata rumah Ibu Amel telah masuk wilayah Desa Wonokerto. Menurut Ibu Amel meskipun penduduk Wonokerto beragama Islam dan harus berdampingan dnegan Desa Ngadas yang beragama Hindu namun dapat selalu hidup rukun tanpa ada masalah. Ketika kami sedang berbincang-bincang Bu Amel menawarkan kami untuk makan. Kami menuju ke dapur milik Ibu Amel dan menjadi pengalaman pertama bagi kami merasakan makanan khas Tengger yaitu sejenis buncis dan bakwan jagung. Yang tidak kalah mengesankan adalah makan di depan tungku yang sedang menyala. Sembari makan kami di temani oleh Bu Erna (kakak Ibu Amel). Anak Ibu Erna sekarang sedang kuliah di Malang. Karena hari itu sudah sore akhirnya kami putuskan untuk berpamitan.
       Kelompok kami memilih untuk langsung membuat Power Point karena hasil observasi akan dipresentasikan malam itu juga.kami dijadwalkan untuk makan malam pukul 18.30. Setelah makan malam kegiatan dilanjutkan dengan presentasi hasil observasi masing-masing kelompok.hasil observasi dari kelompok kami kurang lengkap dan terdapat kesalahan lokasi observasi. Kegiatan tersebut selesei pukul 00.00. kami kembali ke homestay untuk istirahat.

Hari ke-2 (1 April 2014)
       Saya bangun jam 05.30. sekitar pukul 07.30 kami ke balai desa untuk sarapan, namun sebelum itu kami membereskan tas dan barang-barang karena sudah dijemput mobil. Setelah sarapan sekitar pukul 08.30 saya melanjutkan observasi bersama Ika Yuni dan Ulfa. Cukup sulit untuk mencari narasumber karena pagi hari warga sudah pergi ke ladang. Akhirnya kami bertemu dengan Ibu Jumati. Ibu Jumati mempunyai 3 anak yaitu dua anak laki-laki dan satu anak perempuan. Dari Ibu Jumati kami mengetahui bahwa orang Hindu beribadah 3 kali dalam sehari dan seperti orang islam ketika wanita haid maka tidak boleh melaksanakan ibadah. Menurut Ibu Jumati darah Tengger selalu hidup rukun, tidak pernah ada perselisihan dan selalu ramah meskipun dengan orang yang berbeda kebudayaan. Ibu Jumati dan suami bekerja di ladang milik sendiri, namun terkadang ikut membantu tetangganya. Dalam masyarakat Tengger tidak ada larangan untuk menikah dengan agama lain. Biasanya adat akan mengikuti suami. Menurut Ibu Jumati, orang yang dianggap kaya dapat dilihat dari kepemilikan lahan yang luas dan pertanian yang banyak. Pendidikan tinggi tidak menentukan ukuran kekayaan karena pendidikan tergantung pada kemauan anak. Ibu Jumati mengatakan bahwa pekerjaan yang terdapat di Desa Ngadas antara lain karyawan hotel, pedagang, kuli bangunan, supir Jeep namun mayoritas bekerja sebagai petani sayur. Dalam Desa Ngadas ketika ada orang hamil diluar nikah maka mendapat denda dan harus melakukan resik desa. Karena waktu itu Bu Jumati sedang terburu-buru untuk pergi ke tempat saudaranya yang akan melakukan Ntes-Ntes (sekelas selamatan untuk orang yang sudah meninggal) sehingga kami putuskan untuk berpamitan.
       Kami berjalan ke sampingrumah Bu Jumati kemudian kami mampir ke rumah Ibu Wiwik. Beliau merupakan pendatang dari Desa Sapi Kerep yang penduduknya beragama Islam. Ibu Wiwik telah melakukan pindah agama dari 10 tahun yang lalu. Suami Ibu Wiwik bekerja sebagai guru di Desa Jetak. Ketika kami bertanya tentang kehidupan sehari-hari warga di Desa Ngadas jawaban yang kami peroleh hampir sama dengan jawaban dua narasumber sebelumnya. Mereka selalu hidup rukun tanpa adanya perselisihan dan pertentangan. Ibu Wiwik berkata bahwa tugas seorang dukun adalah pada saat pernikahan,orang meninggal atau hajatan. Sedangkan ketika dalam persembahyangan yang memimpin adalah pemangku adat atau sekelas pendeta. Orang akan diangkat sebagai pemangku adat apabila benar-benar mengamati agama. Dalam agama Hindu disebut winten  yaitu disucikan,tidak boleh sembrono,harus selalu berbuat kebajikan dan ketika istrinya meninggal maka tidak boleh menikah lagi.
       Ibu Wiwik menceritakan keluarga Pak Heri yang seluru anggotanya beragama Islam namun tetap mengikuti adat agam Hindu missal dalam upacara Karo. Ketika kami bertanya tentang pendidikan,jawaban yang kami terima cukup menarik. Ibu Wiwik menceritakan kalau kuliah akan mempunyai anak tanpa suami. Hal itu karena telah ada contoh sebuah keluarga yang paling kaya di Desa Ngadas, yaitu saudaranya Pak Kades. Keluarga tersebut memiliki ladang dan pertanian yang luas serta memiliki sebuah took besar yaitu Tiga Putri. Yang tidak menenakan adalah ketika kami dengar bahwa keluarga tersebut menggunakan cara yang nakal (perdukunan) untuk mendapat kekayaan. Keluarga tersebut memiliki 3 orang anak perempuan yang semuanya kuliah di Malang. Namun, mereka semua juga hamil di luar nikah. Sehingga yang di kenal di masyarakat Ngadas adalah ketika kuliah akan hamil duluan. Selain itu ibu Wiwik menjelaskan pernah ada orang yang mencuri kentang,sebagai hukumannya pencuri tersebut dikalungi kentang dan berkeliling gang. Bu Wiwik menjelaskan ketika ada masalah missal ada pencurian atau sejenisnya tidak akan main hakim sendiri. Hukum adat dalam masyarakat Desa Ngadas tidak terlalu kuat mengikat.  Sekitar pukul 10.00 kami berpamitan dan kembali ke balai desa untuk mengikuti pelepasan dari Kepala Desa Ngadas.
       Sekitar pukul 11.00 kami turun menuju terminal Sukapura dengan mengendarai elf. Kami sampai di terminal Sukapura sekitar pukyul 12.00 dan perjalanan langsung dilanjutkan ke Malang. Kami berhenti di rumah makan daerah probolinggo untuk makan siang dan sholat. Sekitar pukul 02.00 perjalanan di lanjutkan,namun rute dialihkan menjadi ke pusat oleh-oleh terlebih dahulu. Sekitar 2 jam kami berada di pusat oleh-oleh,kurang lebih pukul 17.30 kami ke hotel untuk check in. setelah mandi,sholat dan makan perjalanan di lanjutkan ke Batu Night Spectacular (BNS). BNS tidak jauh berbeda dengan Dunia Fantasi Ancol,hanya yang mermbedakan adalah ketika menaiki wahan harus membayar lagi. Pukul 11.30 kami kembali ke hotel untuk beristirahat.

Hari ke-3 (2 April 2014)
       Saya bangun pukul 06.00. Setelah selesai mandi dan beres-beres karena pukul 09.00 harus check out hotel, kami sarapan dahulu di lantai 3 hotel. Setelah selesai sarapan dan  check out hotel perjalanan di lanjutkan ke Jawa Timur Park 1. Bermain di Jatim Park 1 sangat melelahkan karena lokasinya yang amat sangat luas. Di Jatim park 1 kami di suguhkan berbagai macam pengetahuan dan rekreasi. Yang ditawarkan di Jatim Park 1 antara lain kebudayaan dari berbagai suku yang ada di Indonesia mulai dari kebudayaan Aceh sampai kebudayaan papua tak ada yang terlewatkan. Selain itu juga terdapat sebuah gedung yang berisi tentang para ilmuwan-ilmuwan dan temuannya, tentang zaman sejarah, kahidupan zaman dahulu, dan lain-lain. Selain untuk edukasi, Jatim Park 1 juga menawarkan sarana hiburan seperti wahana permainan untuk anak-anak, waterboom, taman ikan dan lain-lain. Di bagian terakhir rute atau sebelum pintu keluar terdapat beberapa stand-stand yang menawarkan pernak-pernik mulai dari accessories, baju, tas dan makanan khas Kota Batu, Malang.
       Sekitar pukul 12.00 kami keluar dari area Jatim Park dan dilanjutkan perjalanan pulang ke Semarang. Namun kami berhenti di rumah makan sekitar Jatim Park untuk makan siang. Setelah semuanya selesai perjalanan dilanjutkan ke Semarang. Perjalanan diisi dengan tidur nyenyak karena serangkaian kegiatan yang cukup menguras tenaga. Alhamdulillah pukul 00.30 kami sampai di Semarang tepatnya depan Gedung FIS dengan selamat.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Facebook Themes